Mapping Episode 1 - Hampir Terbawa Arus Sungai
- Nazla Syafitri
- Oct 7, 2018
- 6 min read

“Who wants to be a geologist, He must get through the wilderness of the earth” – Anynomous
Yap, gak bisa dipungkiri kalimat – kalimat yang mirip dengan quotes diatas pasti sering terlontar dari mulut orang – orang yang sudah menjadi “the real geologist”. Hidup di hutan belantara dan berhadapan dengan ketidakmungkinan adalah beberapa tantangan yang harus dihadapi seorang geologist. Hal itu semua dilakukan demi keperluan data lapangan dalam analisis nantinya. Terlebih lagi, data lapangan selalu tersedia secara Cuma –Cuma yang dominan di daerah yang masih belum terjamah oleh pembangunan karena tatanan muka buminya masih asli. Menjadi geologis bukanlah hal mudah terutama saya seorang cewek.
NB. Saya akan diganti menjadi aku biar ceritanya lebih seru haha.
Aku udah melewati dunia perkuliahan baru – baru ini dan terkadang gak sengaja teringat kisah pengalaman kegiatan lapangan mulai dari yang paling aneh, paling ngeselin, sampai paling sedih juga ada. Aku udah menjalani pemetaan dua kali dan lebih dari tiga kali kuliah lapangan mata kuliah. Semua punya cerita sendiri. Dan beberapa dari mereka ada yang “memorable moments” dan aku ngerasa bersyukur sudah melewati masa – masa mencekam itu. Yah, begitulah beberapa orang yang berkecimpung di dunia geologi pasti merindukan liarnya hidup di lapangan (termasuk aku haha) setelah lama tak berjumpa. Untuk mengenang lagi, hanya bisa buka foto – foto jadul gimana chaos-nya hingga harus pusing bareng – bareng, adu mulut sampai berantem ga cakapan, dari tubuh yang masih fresh hingga ngantuk berat buat nyusun laporan, bahkan begadang beberapa untuk target kolokium. Haha sudahlah jadi makin rindu. Haha. Cerita ini ga berurutan dari tahun kejadiannya ya. Dan ini tujuannya hanya sharing pengalaman dan gak berniat menyakiti orang yang terlibat didalamnya. Peace. Nanti ceritanya bakal pake season ya haha (kayak drakor euy).
# Pengalaman Mapping 1 – Hampir kepeleset di sungai deras untuk dapat data struktur
Aku dan Lambas udah janjian buat ke lapangan ngambil data tambahan karena lapangan kita sebelahan di desa Sindangwangi, daerah Brebes, Jawa Tengah. Buat sampe ke lokasi penelitian butuh waktu lebih kurang 10 jam naik bis Goodwill arah bandung – Tegal dan Bumiayu. Sebenarnya bisa naik kereta tapi biayanya double 150 rb-an sedangkan naik bis bisa sekali aja paling maksimum 100 rb (harus menghemat karena mahasiswa). Ini bukan kali pertama aku ke Brebes tapi udah yang ketiga kali karena aku ngerasa dataku belum cukup. Padahal teman – temanku udah nyaranin gaperlu karena wasting money and time. Tapi, apa mau dikata ya, “lapanganmu hanya kamu sendiri yang paham dan mengerti”. Mau Tanya kesiapapun cuman diri sendiri yang tau kebutuhan lapangan pribadi karena bakal tiap individu mempertanggungjawabkan lapangannya masing – masing. So, who knows more nonetheless you. Kegiatan lapangan ini termasuk mata kuliah Pemetaan Geologi Lanjut atau pada nyingkatnya (PGL). kalau udah dengar ini berasa kayak…. Haha. Cukup deh perkenalannya.
Nah, ini kejadiannya di lapangan Lambas, teman satu tim Pemetaan Geologi Pendahuluan (PGP) setahun sebelumnya. Waktu itu, udah masuk musim penghujan dan tau lah ya kalo lagi ujan – ujan begini ke lapangan itu rasanya dua kali lebih berat dari musim kemarau. Mulai dari habis waktu, habis tenaga, lebih banyak yang harus disiapin (kalau perlu mantel : disaranin). Jam udah kearah jam set. 2 sore tapi cuacanya kayak jam 4 sore. Mendung banget. Gelap dan sendu gitu. Pokoknya ga banget lah ke lapangan. Tapi, apalah daya demi data akupun rela. Haha (sebenarnya karena Lambas sih). Oke kita caw ke sungai yang terkenal namanya sungai *** (aku lupa fix tapi termasuk sungai besar). Fyi, kenapa ke sungai? Karena data singkapan (istilah batuan yang muncul ke permukaan tanpa harus di ekskavasi) banyak tersedia disana. Jadi, jangan heran kalo banyak anak geologi belajarnya ke sungai ya haha. Menuju ke sungai, butuh waktu hampir 15 menit dengan jalanan di pinggir jurang mengarah ke sungai. Dari jalan itu, bisa keliatan derasnya sungai dan kami pun bisa memperkirakan lokasi mana yang harus didatangi duluan. Dan sampailah kami di sungai lambas (sebut saja begitu). Turun ke bibir sungai dan pas liat warna airnya, aku cuman bisa diam dan berharap duduk manis disini. Warnanya keruh dan lebih tinggi dari biasanya (aku udah kedua kalinya kesini). Tapi, lambas tetap yakin buat nyeberang sungai karena buat dia soalnya. Awalnya aku kekeuh gamau kesana sampai dipaksa karena dianya juga takut sendiri disana (trus aku gatakut apa).
“Udah buruan naz. Nanti aku pegangin. Yuk cepat.” Taulah ya logat medannya itu bikin kesel. Aku tuh takut ngeliat airnya karena aku pernah ngalamin air bah kecil pas lagi liburan di sungai. Cuacanya mendung gelap banget ke arah hulu sungai. Padahal penjaga sekitar sungai itu udah kasih tau buat naik tapi kita pengunjungnya gada yang ngeh dan selow ae. Gak lama cuman jarak 20 m keliatan air naik berwarna cokelat bergulung dengan kecepatan tinggi menghantam bibir sungai dan ga sampai 20 detik sampai ke lokasi berteduh. Bahkan ga sampai 5 menit air sungai udah mengenggelamkan tempat kami berteduh. Dan jujur aku masih trauma. Karena itu, aku masih kebayang kejadiannya.
Tanpa panjang cerita, lambas langsung masuk ke sungai dan aku cuman bisa berdoa kalau ini bukan hari terakhirku karena masih banyak dosaku. Huhu. Langsung aku masuk sungai dan kerasa kalau sungainya memang deras kayak dugaan awalku.
“Naz, ntar jalannya searah sungai ya. Kakinya jangan segaris nanti mudah terbawa arus.” Pesannya. Perlahan – lahan kulangkahkan kaki sambil berdoa semoga ku sampai di seberang. Sangat dramatis memang sedangkan beberapa warga sekitar sedang memancing di bibir sungai berharap ikan – ikan banyak datang dari arah hulu. Syukurnya kita gak mengganggu focus mereka. Jadi yaudah deh aman aja. Aku masih khawatir banget sama langit gelap di hulu sungai yang tiba – tiba menghantam kami berdua. Tapi, air sungai yang dingin masih lebih menegangkan.
Ehh…kok aku ngerasa makin ke tengah sungai kok arus makin deras ya. Aku makin kalut dan aku lupa pesannya. Reflex aku ngelurusin kaki dan keseimbangan badanku mulai hilang. Makin gugup, aku pegang dia kuat – kuat tapi kakiku makin terasa ringan terbawa air. Dan tiba – tiba aku terpeleset sedikit kearah arus dan jujur aku takut banget nget nget disini. Sambil mikir kalo pun kebawa arus, aku masih bisa ditolongin tapi itupun kalau ada yang bisa berenang. Kalau gada, yaudah wassalam.
“Naz, kau jangan gitu kakinya ku bilang. Buka kaki kau. Badan ke arah sungai. Gapapa ini langkahkan kaki kau betol – betol awas tergelincir.” Kesalnya. “Cepat langkahkan kaki kau kesini biar ku pegang” tunjuknya sambil melangkah mencari batuan untuk ditumpu kaki. Dan Hap, akhirnya Alhamdulillah aku sampai di bibir seberang sungai dan dia pun menyusul. Ya Allah itu bener – bener uji mental banget dan bisa aja salah sedikit yasudahlah ya. Lega sedikitlah tapi pas lihat langit hulu warna gelapnya masih bertambah dan makin khawatir. Sekarang problemnya, gimana baliknya. :(
Pas liat jam, udah menunjukkan jam 2 sore dan kita langsung cari data itu. Data ini berupa bukti sesar atau disebut slickenside yang bisa digunakan sebagai bukti adanya aktivitas sesar. Bentuknya seperti menangga dan harus dicari secara teliti. Dia nuntut buat kesini karena udah diskusi sama teman lain yang overlay dengan lapangannya dan temannya itu udah nemuin bukti sesar disana. Dan mau gam au dia harus dapat juga. Setelah mencari kurang lebih 20 menit, akhirnya lambas nemuin bukti itu meskipun harus diskusi lagi apa ini benar slickenside apa ga. Tapi, kalo nunggu diskusi fix, bakal keburu hujan dan air sungai naik. Bagusan di foto dan diukur aja dulu. Sambil dianya sibuk ngitung sesar, aku sibuk juga mencari jalan aman buat mitigasi kalo tetiba air naik. Ku udah liat bukit di bibir sungai aku berdiri dan cukup tinggi kalau untuk menghindar dari air bah. Tapi, sayangnya bukit ini masih bener – bener hutan dan gatau jalan menuju perumahan warga nantinya. Tapi, yaudahlah itu lebih aman rasanya. Sambil lihat jam udah menunjukkan jam 3 sore, rasanya langit sangat gelap. Suasana sangat sepi walaupun warga yang mancing masih disekitar sungai.
“A, naik aja langit udah gelap. Takut nanti air naik.” Jerit seorang bapak yang duduk memancing di posisi yang aman kepada kami. Tanpa mengelak, Lambas akhirnya luluh dan balik. Dan next challenge is how to walk through this stream. Please, God help me more again. Okey, dengan gugup lagi dan janji – janji si Lambas akhirnya kita meyeberang. Tetapi, ini jauh lebih tenang dan jalurnya lebih aman. Dan, sekali lagi Alhamdulillah aku selamat atas bantuannya. Dan dari sini kita langsung pulang ke basecamp. Dan syukurku kali ini juga langit menahan hujannya. Jangan Tanya, aku masih tetap trauma dan plis no langit – langit gelap club. Hahaha.
Dari pengalaman diatas, rasanya kekuatan itu berasal dari diri sendiri dan harus bisa mengalahkan rasa takut itu sekuat mungkin. Daan, kontrol emosi tetap menjadi hal penting selama di lapangan.
Oh iya, Fyi, geologist adalah orang – orang yang mendalami ilmu tentang bumi mulai dari kerak hingga inti bumi berdasarkan penyusunnya, arsitekturnya hingga kebencanaan yang mungkin terjadi. Bisa dibedakan dengan meteorologist yang membahas kerak bumi hingga atmosfer. Beda kan ?
Comments