26 Desember 2004
- Nazla S R
- Dec 30, 2018
- 3 min read

Hari itu adalah hari pertamaku masuk sekolah. Seragam yang kukenakan masih merah putih dan duduk di kelas 4 SD Pertiwi Kota Medan. Hari ini begitu banyak hari bermula. Hari ini juga adalah hari pertama aku diantar jemput oleh Udak (bahasa umumnya paman atau om) naik kereta (motor untuk bahasa medan). Sebelumnya aku di antar jemput tapi naik bus. Tak hanya dengan udak, mamak (ibu dalam bahasa medan) juga ikut mengantarku. Ya, hal itu juga karena hari ini pun hari pertama Ayahku berangkat ke Jakarta karena dipindahkerjakan setelah beberapa tahun di Tebing Tinggi. Menurutku ini adalah hari penuh dengan permulaan. Tapi aku harus jauh lebih semangat karena ini adalah hari pertamaku masuk sekolah baru yang saat itu cukup popular di kalangan orang atas.
Duduk sambil menunggu di depan kelas baruku dengan Udakku sedangkan Mamak masih berdiskusi di ruang guru. Tak tahu apa yang dibicarakan tapi pasti hal penting. Semuanya sangat berbeda dengan sekolah lamaku. Melihat – lihat sekitar memancing anak lain melihatku dengan tajam juga. Diriku yang pemalu tak berani membalas tatapan mereka. Sampai akhirnya bel sekolah yang mirip lagu anak – anak “makan apa” membuatku sedikit sedih karena mereka berdua harus pulang dulu. Mamakku mencium keningku dan mereka pulang naik kereta.
Langkah kaki menuju kelas baru terasa mencekam tetapi perlahan menyesuaikan diri dengan kebiasaan kelas mulai dari salam, doa hingga aturan sekolah setiap harinya. Seperti biasa, berkenalan adalah cara mengetahui orang sekitar lebih dalam. Dan ternyata kelasku sangat penuh kedamaian. Bu Naimah, walikelasku saat kelas 4, sangat membantuku menyesuaikan diri dan membuatku nyaman dengan sekolah ini. Rasanya tak ada yang kurang. Semua berjalan sesuai dengan sebagaimana mestinya.
Kemampuanku menyesuaikan dengan sekitar melupakan waktu beriring hingga bulan telah terlewati. Bahkan ku sudah punya teman dekat perempuan dan kami duduk sebangku. Namanya Aurora. Kami juga punya marga yang sama. Tak tahu juga apa yang membuat kami menempel sampai lulus SD. Selain dia, semua teman perempuan di kelas sangat baik meskipun mereka berasal dari kalangan atas. Mereka suka bercerita tentang kebiasaan mereka yang saat itu tidak bisa kurasakan. Mereka cerita kalau setiap minggu ikut les balet atau les music. Menarik sekali. Mereka suka bercerita mengenai hal itu berulang kali. Tapi aku lebih memilih ikut menanam bunga dan sayur di rumah dengan nenek setiap hari. Sampai – sampai ini jadi hobi saat itu dan bisa jadi pengisi perut kala diperlukan. Sampai satu hari saat kami kumpul rame – rame, seseorang bertanya tentangku.
“ Naz, yang sering antar kamu itu ayah kau ya?” Tanya seseorang.
“ Bukan. Itu udak aku. “ jawabku. Saat itu aku belum paham arti udak apa jadi mereka hanya mengiyakan penjelasanku.
“ Oh, aku kirain Ayah kau Naz. Soalnya sering antar jemput kau. “ jelasnya lagi. Aku hanya bisa membalas senyuman. Aku memang sejak kecil bukan orang yang suka banyak bicara sampai – sampai aku di cap pendiam di kelas hingga kelas 6 SD.
“ Naz, kau kalau dilihat – lihat mirip teman kami loh dulu sekolah disini.” Tanyanya lagi dengan bahasan berbeda. Semua wajah menatapku serius.
“ Siapa? Memang dia ga sekolah disini lagi? ” tanyaku dengan bingung maksud pertanyaannya
“ Ngga Naz “ jawabnya
“ Memang kemana dia sekarang? Pindah sekolah?” tanyaku lagi.
“ Namanya Nadya. Dia ngga ada kabar sampai sekarang. Pas bulan Desember kemaren dia pulang kampong ke rumah neneknya di Aceh. Trus sampai sekarang ngga ada kabarnya Naz. Katanya ilang pas tsunami Naz” jawabnya dengan menghentikan sejenak ucapannya. Memang saat itu belum sampai sebulan luka tsunami Aceh melanda tahun 2005. Mereka mengangguk dan diam. Seolah bersedih dalam hening. Aku pun diam tanpa Tanya.
“ Iya naz betol loh mirip ko sikit. Jangan – jangan ko pengganti dia. Dia baik kali loh orangnya. Putih. Pokoknya mirip sama kau loh.” Seorang lain menimpal dengan semangat.
Aku hanya diam dan terkejut. Mana mungkin aku menjadi pengganti Nadya sedangkan wajahnya pun aku tidak tahu seperti apa. Tapi, dari penjelasan mereka seolah memang ada kemiripan antara aku dan dia.
Alarm sekolah berbunyi memecahkan keheningan ini. Seorang guru masuk dan memulai kelas selanjutnya.
***
Cerita ini adalah benar dari pengalamanku dulu saat pindah sekolah ke SD PERTIWI Kota Medan. aku teringat cerita ini karena pas banget peringatan tsunami aceh ke-14 tahun. Sekaligus baru aja tsunami selat sunda. Untuk Nadya yang teman-temanku bilang, semoga kau benar adanya dan selalu diampuni dosa – dosamu dan keluargamu. Tsunami aceh punya kenangan pahit dan tak terlupakan. Untuk korban tsunami selat sunda semoga selalu diampuni Allah dosa – dosanya. Amin.
Comments