top of page

Mengajar Dari Hati Untuk Mereka

  • Writer: Nazla Syafitri
    Nazla Syafitri
  • Feb 19, 2022
  • 4 min read

Updated: Feb 23, 2022



Siapa yang tak mengenal saya? Tentu sedikit. Hanya segelintir orang saja yang mengenal saya melalui kegiatan kampus dan beberapa lomba. Waktu berlebih saya manfaatkan untuk berhibernasi di kosan ataupun berkumpul dengan teman. Baiklah, perkenalkan saya Nazla mahasiswi di salah satu kampus di Bandung. Lalu, bagaimana saya berkenalan dengan dunia kerelawanan padahal saya bukanlah seseorang yang aktif bersosialisasi? Dengarkan cerita saya.


Tepat di tahun itu, saya bergabung dengan organisasi besar di fakultas kampus yaitu BEM fakultas menjunjung kekeluargaan katanya. Pembukaan besar-besaran kala itu menarik hati saya hingga akhirnya mendaftar di bagian kebendaharaan. Sayangnya, belum rejeki dan saya terlempar ke Departemen Sosial Masyarakat sebagai departemen paling tidak dilirik sama sekali oleh kebanyakan mahasiswa. Alasannya adalah program kerja tidak menarik dan membuang-buang waktu. Baiklah saya hanya ingin merasakan dunia organisasi saat itu.


Setelah daftar anggota BEM resmi diumumkan, Ketua Departemen mengundang anggota Departemen Sosial Masyarakat untuk rapat perdana. Pembahasan mencakup proker, project leader, dan capaian setahun kedepan. Dari sekian banyak proker yang diusung, satu proker unggulan dan terbaru tahun itu lahir dari ide ketua BEM yaitu diadakannya kegiatan mengajar sebagai edukasi kebencanaan kepada masyarakat di sekitar kampus. Hal ini dilatarbelakangi oleh program studi saya yaitu geologi yang sangat berkaitan erat dengan bencana. Ditambah lagi, bencana alam seperti longsor sering terjadi karena kondisi alamnya berlereng dan berada di sekitar perbukitan. Antusias teman-teman terlihat dari banyaknya masukan dan harapan dari kegiatan ini hingga lahirlah nama proker terbaru yaitu HMG Mengajar (Himpunan Mahasiswa Geologi Mengajar). Akan tetapi, saya sangat terkejut saat nama saya terpilih menjadi project leader proker ini. Saya hanya bisa bergumam dalam hati antara bahagia diberi kepercayaan dan bingung dengan proses pelaksanaannya yang masih abu-abu.


Setiap pemimpin proker diharapkan mengumpulkan proposal kegiatan kasar untuk setahun kedepan, begitulah kata-kata menjanjikan di awal menjadi anggota BEM ini. HMG Mengajar sebagai proker baru menjadi tantangan tersendiri bagi saya karena belum ada acuan dari kegiatan sebelumnya. Proposal ini harus berlandaskan pada bidang keilmuwan saya tentunya. Saya mengajukan untuk melibatkan banyak orang. Saat itu, “banyak orang” yang saya maksud adalah teman-teman anggota BEM lainnya. Akan tetapi, ketua BEM dan departemen ingin seluruh mahasiswa non-BEM merasakan kegiatan mengajar di luar kampus. Satu ide gila lagi muncul yaitu membuka kesempatan menjadi relawan mengajar dan saya harus siap menjadi ketua relawan. Project leader dan ketua relawan, Aku siap.


Sebagai project leader, saya diwajibkan membuat rundown, rapat, dan bekerja sama dengan proker lain yang digabungkan untuk efisiensi biaya. Lalu, bagaimana menjadi ketua relawan dengan pengalaman nihil? Satu-satunya solusi adalah terlebih dahulu saya terjun langsung menjadi relawan mengajar di kegiatan kampus yang lebih besar bernama TS. Proker saya masih lama dan cukup waktu untuk mendalami ilmu kerelawanan ini. Jadi, tidak ada salahnya saya belajar lebih banyak di Taman Siswa.


Taman Siswa (selanjutnya disingkat TS) cukup terkenal di lingkungan kampus karena pondok mengajar ini diasuh langsung oleh BEM Universitas sejak beberapa tahun sebelumnya dan masih terus berikhtiar dalam bidang pendidikan. Rejeki saya juga bisa mendaftar sebagai relawan mengajar tidak lama dari rencana awal. Banyak relawan lama yang masih bertahan di TS dengan alasan rindu untuk berbagi dengan adik-adik di sana. Jujur ini terasa klise sekali sampai akhirnya saya paham apa maksudnya. Dalam benak saya, menjadi relawan mengajar harus bisa menguasai pelajaran sekolah, menyiapkan alat tulis, dan berpakaian rapi ala guru-guru di sekolah. Rasanya seperti benar-benar akan mengajar di kelas.


Sampai tiba di hari H kegiatan, semua relawan datang ke lokasi TS yang juga saya perkirakan besar dan seperti kelas-kelas sekolah pada umumnya. Lokasi yang lumayan jauh menyita energi semua relawan. Akan tetapi, saya menjadi bungkam dan terdiam saat tiba di lokasi yang dalam benak saya menjadi tempat yang seru dan menyenangkan. Di samping jalan kecil yang cukup untuk dua motor berpapasan dan diseberangnya hamparan sawah dengan latarbelakang Gunung Geulis, hanya tampak satu pohon tua dan besar menjulang menutupi rumah kayu yang di sebelahnya ada dua kelas kecil. Satu kelas khusus berdiri di depan yang lain sebagai kelas guru. Bahkan lebih mengejutkan lagi tidak ada murid yang hadir sama sekali. Saya bingung sampai seseorang mengatakan ingin menjemput anak-anak untuk belajar. Jiwa saya bergejolak tidak percaya kondisi mengajar seperti ini.


Sambil beristirahat di rumah kayu yang sejuk, berlarian satu persatu anak-anak menghampiri relawan lama yang mereka kenal dengan panggilan yang tidak asing lagi. Riuh ripuh pun hadir diisi suara bahagia anak-anak ini tatkala berjumpa seperti sekian lama berpisah. Padahal, menurut relawan lama, mereka masih sering mampir ke TS hanya untuk bersendau gurau. Benar-benar tak terbayangkan sudah seberapa akrab mereka dengan anak-anak ini sampai rasanya seperti keluarga yang hadir. Kerinduan pasti selalu menghampiri benak diantara mereka.


Saya sudah menunggu hampir sejam untuk momen mengajar di kelas, tetapi tidak kunjung jua. Canda tawa dan gurau masih melekat diantara anak-anak ini. Seorang anak menghampiri saya dan mengajak berkenalan. Saya tidak percaya begitu berani dan percayanya dia untuk memulai obrolan dengan orang asing seperti saya. Di sisi lain, saya lebih penakut untuk membuka obrolan dengan orang baru bahkan untuk membuat canda tawa. Akan tetapi, dia mengajarkan saya keberanian memulai komunikasi dengan hangat juga tidak ada salahnya. Keseruan diskusi kami memancing anak lain menghampiri saya dan bercerita panjang lebar tentang apapun. Rasa ingin tahu dan keberanian mereka yang membuat saya terkagum-kagum betapa besarnya potensi mereka untuk dikembangkan lebih jauh. Bahkan, saya baru pertama kali menemui anak spesial yaitu autis seusia kami yang emosinya tidak stabil. Dia bisa saja tiba-tiba membawa batu dan melemparkannya kepada orang yang dia lihat. Tapi, saat emosinya stabil, dia bisa bercanda dan tertawa layaknya orang normal. Tanpa saya sadar sudah terlarut hampir dua jam dengan kondisi seperti ini.


Akhirnya saya mulai paham bahwa kegiatan belajar tidak harus selalu di dalam ruangan yang tertutup dan berbicara tentang matematika, IPA, ataupun bahasa. Berbicara dari hati ke hati sungguh membuat takjub dan jauh lebih bermakna dari logika itu sendiri. Membangun ikatan batin sungguh sangat mengasyikkan dan membuka pandangan baru bahwa mengajar itu tidak sesulit yang dibayangkan.


Sampai pada target awal saya ikut kegiatan relawan, cara mengajar ini saya genggam dan renungi hingga kegiatan relawan HMG Mengajar tiba. Saya selalu tekankan pada relawan yang saya bimbing,

"Cukup pahami mereka dan berikan mereka ruang untuk menceritakan dunianya padamu. Maka, kau sudah menjadi kaya akan pengetahuan yang tak terukur. Karena pada hakikatnya, mengajar itu dari hati ke hati bukan hanya logika saja." - NZL




 
 
 

Recent Posts

See All
TWK - PRAKEMERDEKAAN

1. (KERAJAAN) a. Majapahit – K. Agraris (Negara nasional ke-2 Indonesia) - Dipimpin oleh Hayam Wuruk - ...

 
 
 

Commentaires


©2018 by RANGKUTINazla. Proudly created with Wix.com

bottom of page